Upacara kedukaan atau perkabungan (funeral) merupakan praktik seremonial yang dilakukan oleh hampir semua bangsa/suku, budaya dan agama, termasuk juga oleh orang Kristen. Setiap suku/adat, budaya, agama memiliki tata cara dan aturan masing-masing, bahkan bersifat unik. Meskipun ada perbedaan-perbedaan yang jelas, namun semua tata cara yang ada memiliki beberapa kesamaan praktik dan maksud. Kesamaan ini antara lain mencakup:
- Penghormatan.
- Perlakuan atas jenazah.
- Ekspresi kedukaan.
- Keyakinan (doa dan pembebasan).
- Kenangan dan harapan atas mereka yang meninggal.
Namun dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, cara-cara konvensional ini dimungkinkan untuk berubah. Penguburan tidak lagi dipahami sebagai memasukkan jenazah dalam tanah, melainkan dimasukkan dalam rak-rak yang terbuat dari beton. Kini di pemakaman tertentu dapat diberlakukan satu bidang kuburan diperuntukkan bagi beberapa anggota keluarga. Cara-cara ini dilakukan karena lahan tanah pemakaman yang sangat terbatas dan semakin sangat mahal. Mumifikasi sudah hampir tidak dilakukan lagi, kecuali oleh suku-suku tertentu.
Di beberapa negara maju cara-cara perlakuan akhir atas jenazah terus mengalami inovasi sehingga dengan kreativitas teknologi yang diciptakan, kini ada beberapa cara baru yang sudah diperkenalkan, bahkan sudah diterapkan di beberapa negara maju, misalnya cara yang disebut resomasi (resomation) dan promessi (promession).
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan populasi dunia dan semakin tercemarnya lingkungan hidup manusia, kini cara-cara konvensional dianggap tidak ramah lingkungan. Cara penguburan membutuhkan lahan yang semakin luas dan meninggalkan ‘limbah’ dalam tanah. Cara kremasi menghasilkan emisi yang tidak baik untuk kesehatan, seperti nitrogen oksida, karbon monoksida, sulfur dioksida, mercury, hidrogen florida, hidrogen khlorida, unsur-unsur logam berbahaya, dan zat-zat polutan lainnya. Penemuan cara-cara yang baru, yaitu resomasi dan promessi dianggap lebih ramah lingkungan, higienis dan praktis. Hingga kini cara-cara perlakukan akhir terhadap jenazah yang dikenal adalah:
- Dikubur (dalam tanah atau ruang khusus)
Cara ini masih banyak dilakukan bahkan dengan penataan dan pengelolaan tempat pemakaman yang sangat indah. Di beberapa negara dimana kota-kota besar sudah sangat kehabisan lahan tanah untuk pemakaman, pemakaman dilakukan dalam rak-rak beton. - Dibakar (kremasi)
Kini dengan perkembangan teknologi, kremasi tidak lagi identik dengan upacara kremasi tradisional menurut agama Hindu dan Budha, yang memakai kayu bakar sehingga memerlukan waktu yang panjang. Kremasi dilakukan dengan teknik pembakaran yang lebih higienis dan efisien. Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, abu dari jenazah dapat diwujudkan dalam berbagai pilihan sebagai kenangan 'abadi'. Misalnya, dimasukkan dalam tabung yang sangat indah; dimasukkan sebagian dalam leontin; dijadikan bahan lukisan dari wajah yang meninggal; dipadatkan menjadi kepingan; bahkan dijadikan berlian dengan warna sesuai keinginan keluarga. Yang terakhir ini dilakukan dengan cara memisahkan karbon dari abu jenazah; dan dengan teknologi yang mutahir karbon tersebut dijadikan berlian untuk kenang-kenangan. - Diawetkan (mumifikasi)
Cara ini membutuhkan penanganan yang sangat tidak sederhana dan mahal. Namun kini hanya dilakukan oleh suku-suku tertentu karena alasan keyakinan dan tradisi mereka. - Dibekukan dan dihancurkan (promessi)
Cara ini dilakukan dengan memasukkan jenazah dalam ruang pendingin pada suhu -180° C. Kemudian dimasukkan dalam nitrogen cair (yang bersuhu kira-kira -195° C). Dalam suhu yang demikian rendah tubuh jenazah langsung membeku, mudah pecah dan hancur. Kemudian tubuh jenazah dikeluarkan dan dihancurkan dengan digetarkan sehingga menjadi partikel-partikel yang sangat kecil seperti bubuk. Kemudian dapat diolah menjadi beberapa kemungkinkan, misalnya di-press menjadi bentuk yang dikehendaki; atau bisa juga dikuburkan. - Dicairkan/dilarutkan (resomasi)
Prosesnya sendiri adalah dengan mencampur air dengan potassium hydroxide yang dipanaskan selama 3 jam. Organ tubuh dan jaringan tubuh akan larut dalam air, sementara tulang akan menjadi abu mirip seperti dikremasi. Air sisa akan diolah dan kemudian dibuang ke saluran pembuangan.
Cara-cara perlakuan terakhir terhadap jenazah selalu bisa menimbulkan kontroversial karena dianggap tidak lazim dan tidak menghormati jenazah mereka yang meninggal. Apalagi cara-cara terbaru di atas, promessi dan resomasi; bahkan di negara-negara maju cara-cara ini masih menjadi kontroversial. Di Indonesia dan negara-negara berkembang pada umumnya belum mengenal cara-cara ini, sehingga cara-cara terbaru belum menjadi persoalan yang relevan bagi gereja-gereja di Indonesia.
Umat kristiani di Indonesia pada umumnya melaksanakan perlakuan akhir atas jenazah dengan cara penguburan atau kremasi. Diantara cara-cara yang ada, hingga kini cara yang semakin banyak dilakukan adalah cara kremasi, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Karena cara ini dianggap lebih sesuai dengan kondisi kehidupan jaman ini. Tentang cara kremasi ini pandangan agama-agama berbeda-beda:
- Yudaisme : umumnya tidak membolehkan.
- Islam : tidak membolehkan.
- Hindu : memerintahkan kremasi, lebih mudah melepaskan roh dari tubuh, sehingga lebih memudahkan menuju dunia sana.
- Budhisme : memerintahkan kremasi.
- Gereja Katolik : tidak melarang cara kremasi berdasarkan pertimbangan yang bisa diterima; dan dianjurkan setelah kremasi abu jenazah dikuburkan atau disimpan di "rumah abu", tidak dibuang atau ditaburkan di sungai/laut.
- Gereja Protestan : sebagian menyetujui dan sebagian tidak menyetujui atau keberatan.
Ada beberapa alasan dari pandangan yang menolak cara kremasi:
- Para tokoh Alkitab melakukan cara penguburan.
- Kremasi adalah praktik yang pada mulanya diperkenalkan dan dilakukan oleh masyarakat yang tidak mengenal Allah (heathen), atau cara yang dilakukan oleh agama-agama non-Kristen.
- Kremasi menggambarkan murka dan penghukuman Allah.
- Kejadian 38:24, Yehuda memerintahkan agar menantu perempuannya yang sedang hamil dibakar mati karena telah bersundal.
- Keluaran 32:20, Musa menghancurkan patung anak lembu emas dengan dibakar.
- Imamat 20:14,"Bila seorang laki-laki mengambil seorang perempuan dan ibunya, itu suatu perbuatan mesum; ia dan kedua perempuan itu harus dibakar..."
- Imamat 21:9, Anak perempuan imam yang bersundal harus dihukum bakar.
- Bilangan 16:35, Allah menghukum mati Korah dan 250 orang Israel dengan api.
- Ulangan 7:25, Allah memerintahkan agar berhala-berhala dihancurkan dengan dibakar.
- Yosua 7:15-25, Penghukuman atas yang berbuat dosa mencuri.
- Hakim 15:6, Orang Filistin membakar mati isteri dan mertua Simson.
- I Samuel 31:11-13, Jenazah Saul yang bunuh diri dibakar lalu dikubur.
- Kisah 19: 19, Wahyu 20:15, Pembakaran sebagai pemusnahan.
- Pengharapan kebangkitan tubuh sulit dipahami dan dimaknai jika jenazah dikremasi; sedangkan dengan cara penguburan, makna pengharapan kebangkitan lebih mudah dipahami. Kremasi memberi kesan mengalami hukuman bukan pengharapan.
- Cara kremasi memberi kesan kurang menghargai tubuh jasmani, yang sebenarnya juga harus dihargai dan diperlakukan dengan terhormat.
- Proses dekomposisi tidak lama.Sebenarnya, kecuali cara mumifikasi, semua cara perlakukan terakhir terhadap jenazah adalah untuk terjadinya proses dekomposisi terhadap jenazah. Cara penguburan lebih membiarkan dekomposisi terjadi dengan sendirinya atau alami. Kalau dalam kodisi kuburan atau tanah yang kering, ini memungkinkan tulang jenazah mengalami dekomposisi yang amat sangat lambat bahkan seakan-akan tidak mengalami dekomposisi. Sedangkan dengan cara kremasi (juga cara promessi dan resomasi) membuat jenazah langsung mengalami dekomposisi.
- Biaya relatif lebih murah.
Untuk mereka yang hidup diperkotaan dan negara-negara maju, biaya pemakaman untuk masa kini tidaklah murah. Untuk mereka yang kurang dan tidak mampu dalam pembiayaan, cara penguburan menjadi beban yang cukup berat. - Tidak sulit mengurus.
Dibandingkan dengan pasca penguburan, pasca kremasi lebih mudah untuk diperhatikan oleh pihak keluarga,karena satu makam perlu biaya pemeliharaan,terutama untuk tempat pemakaman umum yang dikelola oleh pemerintah daerah, dimana setiap periode tertentu keluarga yang bertanggung jawab harus membayar biaya pemakaian lahan. Kalau peraturan ini tidak dihiraukan, maka makam juga akan terbengkalai. Konsekuensinya adalah pembongkaran untuk dipakai pemakaman jenazah yang lain. Semua sisa-sisa tulang yang ada akan dimusnahkan atau dibuang. Dengan demikian pada akhirnya unsur-unsur yang ada dari jenazah diperlakukan dengan tidak terhormat. - Tidak butuh lahan yang besar.
Karena populasi manusia semakin banyak dan lahan hunian semakin menjadi kebutuhan, sedangkan kebutuhan lahan pemakaman juga akan semakin besar, khususnya bagi masyarakat perkotaan,salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah pemakaman dengan memakai rak-rak beton sehingga dapat menghemat lahan. Kalau dengan demikian bukankah makna penguburan itu sendiri sudah berubah? - Lebih ramah lingkungan.
Semua cara perlakuan akhir atas jenazah pasti menghasilkan ‘limbah’ yang tidak diinginkan. Namun cara penguburan dianggap membiarkan dekomposisi ‘limbah’ terlalu lama berlangsung. Cara kremasi membuat dekomposisi jenazah sangat cepat, sekalipun dapat menghasilkan emisi zat yang kurang baik bagi kesehatan. Namun ini dianggap sangat kecil pengaruhnya.
- Dekomposisi (materi dan zat-zat jenazah menjadi terurai).
Semua jenazah cepat atau lambat pasti akan mengalami dekomposisi. Dari semua cara perlakuan akhir terhadap jenazah, hanya cara pengawetan atau mumifikasi yang bermaksud menghambat atau melawan proses dekomposisi. Cara penguburan bagaimanapun memiliki maksud untuk membiarkan dekomposisi terjadi di dalam tanah atau kuburan. Cara dan proses ini dirasakan lebih alamiah. Oleh sebab itu pertimbangan antara cara dikubur atau dikremasi haruslah juga memperhatikan aspek dekomposisi yang tidak mungkin dapat dihindari, bahkan ini harus terjadi. Pengharapan eskatologi, yaitu kebangkitan dari kematian, memang lebih mudah untuk dibayangkan jika dianggap ada tulang-tulang yang tersisa. Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini: (1) Apakah dalam jangka waktu yang lama dan dalam kondisi yang basah tulang-tulang tidak mengalami dekomposisi? Dimanakah tulang-tulang dari para tokoh iman yang sudah lama meninggal? (b) Bagaimanakah memahami secara konsisten untuk jenazah orang-orang percaya yang meninggal dengan cara yang tidak lazim sehingga jenazahnya tidak bisa ditemukan atau disatukan? - Rasa hormat dan menghargai.
Semua upacara atau prosesi perkabungan memiliki intensi untuk menghormati atau bersikap patut terhadap jenazah dari orang yang meninggal. Persoalannya adalah bagaimana kita memahami sikap menghormati atau menghargai. Apakah dengan cara kremasi kurang menghormati? Bagaimana kalau seseorang dikuburkan dengan sembarangan dengan maksud sebagai cara untuk membuang jenazah, apakah ini terhormat? Rasa hormat sangat tergantung pada banyak aspek: konsekuensi pasca penguburan/kremasi (penanganan makam/abu, memori dan perlakuan terhadap sisa jenazah), permintaan dari yang bersangkutan sebelum meninggal, pendapat dari anggota-anggota keluarga yang lain. Bagi kepercayaan/ agama tertentu rasa hormat ini juga dituntut dan diungkapkan dengan memelihara arwah orang yang meninggal (?). Cara kremasi tidak serta merta berarti tidak menghormati jenazah yang meninggal. Rasa hormat sangat tergantung intensi pikiran dan maksud seseorang atau anggota keluarga dalam perlakuan akhir atas jenazah. - Asal-usul cara
Pada umumnya jenazah orang-orang beriman dikuburkan, khususnya bapa-bapa iman. Karena cara perlakuan akhir terhadap jenazah yang dikenal pada waktu itu adalah penguburan. Ini tidak berarti merekalah yang mempelopori cara penguburan. Secara historis cara ini sudah lama dikenal, bahkan bukti penelitian arkeologi menegaskan bahwa cara ini sudah dikenal pada masa pra sejarah, dan dilakukan oleh mereka yang tidak mengenal Allah. Oleh sebab itu cara penguburan tidak dapat dikatakan secara original merupakan tradisi Kristen atau tradisi orang percaya.
Kita perlu membedakan cara/metode dengan orang yang menemukan cara/metode. Banyak penemuan, baik peralatan (teknologi) atau cara (teknik), bukan ditemukan oleh orang percaya. Misalnya, ada alat pertanian dan cara bertani yang bukan ditemukan atau dimulai oleh orang percaya. Apakah dengan demikian kita tidak boleh memakai cara itu? Banyak rumah duka dan peralatannya bukan dibuat oleh orang percaya. Apakah kita tidak boleh memakainya? Apa yang penting adalah tujuan kita memakai alat dan cara tersebut. Namun ini juga tidak berarti bahwa semua tujuan baik dapat membenarkan cara, sehingga cara promessi dan resomasi yang masih sangat kontroversial juga bisa diterima atau dibenarkan. Apa yang dimaksudkan di sini adalah: Kita tidak boleh menjadikan asal-usul cara/metode sebagai dasar yang menentukan dalam pertimbangan tentang kremasi bisa diterima atau tidak bisa diterima. Cara/metode bisa sama tetapi intensi, maksud, makna dan tujuan belum tentu sama. Penguburan belum tentu menunjukkan sikap hormat. Betapa banyak jenazah yang dikubur karena cara ini yang paling mudah untuk ‘membuang’ jenazah tersebut. Betapa banyak jenazah yang dikubur, tetapi dikemudian hari menjadi terbengkalai dan akhirnya digali oleh orang lain untuk disingkirkan, kemudian dibuang atau dibakar. Sebaliknya, tidak berarti dengan dikremasi kita kurang atau tidak menghormati jenazah. Hormat atau tidak hal ini tergantung dari tujuan dan motivasi. - Konotasi penghukuman dan kengerian
Pada jaman PL dan pada jaman Abad Pertengahan memang pembakaran merupakan bentuk dan ekspresi penghukuman Allah dan Gereja. Apa yang penting untuk diperhatikan di sini adalah: Kita perlu membedakan pembakaran sebagai cara penghukuman dan kremasi sebagai cara untuk dekomposisi atas jenazah. Kremasi memang bisa dikonotasikan dan diasosiasikan sebagai hukuman yang ‘mengerikan’. Tetapi konotasi dan asosiasi tidak boleh dijadikan dasar bagi pandangan bahwa kremasi tidak dibolehkan. Pembakaran yang dilakukan sebagai bentuk penghukuman memiliki maksud sebagai ekspresi pelenyapan dosa atau sumber yang berbuat dosa. Tetapi kremasi sebagai cara perlakuan akhir terhadap jenazah dan dekomposisi terhadap jenazah, tidaklah memiliki maksud demikian. Adanya konotasi ‘kengerian’ oleh karena kita melihat sendiri proses pembakaran dimulai; dan juga kita lebih mudah berimajinasi karena melihat pembakaran adalah pengalaman yang sangat sering kita saksikan. Namun seandainya kita bisa menyaksikan dan mau membayangkan kenyataan tentang bagaimana proses pembusukan tubuh jenazah dalam kuburan, apakah ini tidak lebih ‘mengerikan’. Dan apakah kita tidak lebih merasa kasihan terhadap jenazah yang mengalami dekomposisi dengan cara pembusukan? - Kebiasaan dan kecenderungan
Sebenarnya Alkitab sebagai sumber pengajaran doktrinal dan pengajaran praktis hidup orang Kristen tidak mengungkapkan dan menegaskan larangan terhadap cara kremasi. Penolakan atau keberatan terhadap cara kremasi lebih bersifat interpretatif, bukan doktrinal yang jelas dan esensial. Kontroversi atau polemik tentang cara penguburan dan kremasi lebih dikarenakan oleh kelaziman, kebiasaan dan praktik tradisi cara penguburan yang sudah menjadi panutan. Adalah tepat apa yang disimpulkan oleh denominasi Gereja Ortodoks Timur pada tahun 1961, bahwa tidak ada aturan formal Gereja Ortodoks yang menentang kremasi, namun ada kebiasaan dan dorongan sentimen atau kecenderungan yang mengarah untuk lebih memilih penguburan. (The Eastern Orthodox ecumenical patriarch of Constantinople stated in 1961 that:"There is no formal Orthodox rule against cremation, but there is a heavy weight of custom and sentiment in favor of Christian burial.")
Kebiasaan, kecenderungan dan sentimen tidak bisa dijadikan dasar untuk membolehkan atau menyalahkan cara kremasi. Kita bisa menjadikan tradisi, kecenderungan dan sentimen kita untuk menetapkan pilihan kita yang sesuai. Namun ini tidak bisa dijadikan dasar untuk membuat aturan formal dan prinsipil.
Kita percaya pengharapan eskatologis, yaitu kebangkitan orang mati, kebangkitan tubuh; baik mereka yang percaya maupun yang tidak percaya; baik mereka yang baru meninggal maupun mereka yang sudah lama meninggal; baik yang meninggal yang masih terlihat jasadnya, maupun yang jasadnya telah hancur atau lenyap. Kalau salah satu alasan keberatan terhadap cara kremasi adalah meniadakan jasad tubuh kebangkitan, alasan ini seakan-akan menjadikan dirinya syarat bagaimana Allah akan bekerja untuk membangkitkan orang mati.
Kita harus menyadari bahwa perlakuan atas jenazah dengan cara penguburan maupun kremasi, keduanya sama-sama membuat jenazah mengalami dekomposisi. Inilah yang menjadi bukti betapa fananya tubuh jasmani ini. Namun ini tidak berarti kita boleh memakai segala cara, termasuk cara promessi dan resomasi. Cepat atau lambat cara promessi dan resomasi akan menjadi polemik juga dikalangan umat kristiani. Ini menjadi persoalan lain dalam artikel ini.
sumber ; http://www.hokimtong.org
Penulis: Pdt. Christiady Cohen
:
:
0 komentar:
Posting Komentar